Kamis, 11 Desember 2014

makalah pembanding perkembangan politik abad 19 sampai awal abad 20



BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Bagian kedua abad ke-19 merupakan suatu periode baru bagi imperialisme Belanda yang ditandai oleh politik kolonial yan berbeda sekali dengan politik kolonial yang telah dijalankan sebelumnya. Kalau kepentingan-kepentingan Belanda semula terbatas pada perdagangan, maka dalam periode ini Belanda lebih mengutamakan kepentingan politik. Tujuan utama menkonsentrasi perdagangan rempah-rempah itu lambat laun bergeser menjadi mengembangkan perkebunan-perkebunan besar yang hasilnya laku diperdagangan Eropa sampai pertengahan abad ke-19 imperialisme Belanda masih menganggap perdagangan sebagai kepentingan fundamental, sedang kepentingan politik dan militer dinggap kurang esensial.
Pada bagian kedua abad ke-19 sedikit demi sedikit terjadi pergeseran dari periode yang tak berketentuan kesuatu periode pembaharuan kepentingan kolonial. Peruahan ini terwujud dalam tumbuhnya perkebunan-perkebunan seperti cendawan, tumbuhnya jaringan-jaringan kereta api, berdirinya bank-bank, ekspedisi-ekspedisi militer, penyebaran agama Kristen secara intensif. Oleh karena periode itu satu-satu dapat berbeda, maka kita akan membuat batasan-batasan menurut titik-titik perubahan yang pokok, yaitu tahun-tahun 1830, pada periode antara tahun-tahun 1848 dan 1901, sewaktu politik kolonial liberal setapak demi setapak senggantikan sistem perdagangan lama yang disertai monopoli dan eksploitasi tenaga kerja dan tanah pribumi.
Bagi Dunia Ketiga abad ke-20 dapat diberikan julukan Abad Nasionalisme, yaitu suatu kurun waktu dalam sejarahnya yang menyaksikan pertumbuhan kesadaran berbangsa serta gerakan nasionalis untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Perkembangan nasionalisme pada umumnya merupakan reaksi terhadap imperialisme dan kolonialisme yang merajalela dalam abad ke-19 dan bagian pertama abad ke-20. Ekspansi barat sejak akhir abad ke-15 memunculkan Belanda beserta VOC-nya sebagai pemegang monopoli serta hegemoni politik di kawasan Nusantara, kendati perlawanan yang dihadapi ada di mana-mana. Berbeda sekali dengan sifat perlawanan itu, gerakan nasional mewujudkan corak dan bentuk jawaban yang disesuaikan dengan struktur serta sistem masyarakat kolonial, maka periode 1900-1942 sebagai periode gerakan itu dapat dibedakan dari masa sebelumnya.

1.2.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana perkembangan politik pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20?
2.    Bagaimana perubahan politik liberal menuju politik Ethis?
3.    Apa saja perkembangan stratifikasi sosial pada abad 19 hingga awal abad ke-20 ?

1.3.       Tujuan
1. Mengetahui perkembangan politik pada abad ke -19 hingga awal abad ke- 20
2. Mengetahui tahapan-tahapan perubahan politik liberal menuju politik Ethis
3. Memahami stratifikasi sosial pada abad ke-19 hingga awal abad ke -20
















 BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Permulaan Kolonial Politik Liberal (1850-1870)
Periode antara tahun-tahun 1850-1870 ditambah oleh pesatnya kemajuan perdagangan Eropa dan negeri Belanda. Masa ini merupakan periode transisi dari keadaan pra-industri ke industri. Tidak dapat disangsikan lagi, bahwa Culturstelsel ikut serta membangun kembali ekonomi secara besar-besaran, disamping memasukkan jutaan kekayaan ke dalam perbendaharaan Belanda. Politik ekonomi kaum liberal adalah kebalikan dari politik yang dijalankan oleh Willem I. Prinsip yang dianut sekarang adalah prinsip “Tidak Campur Tangan”. Kecenderungan umum di Eropa yang menuju keperdagangan bebas menyebabkan Belanda menghapus peraturan-peraturan proteksinya. Gejala yang menyertai industrialisasi dan perdagangan bebas adalah bekembang dan bergeraknya modal. Dengan dihapuskannya Culturstellsel secara berangsur-angsur, maka tanaman wajib pemerintah diganti dengan pekebunan-perkebunan yang diusahakan oleh pengusaha-pengusaha swasta. Sebetulnya masa 20 tahun ini (1850-1870) dapat dianggap juga masa konsolidasi ke negara Liberal, sesungguhnya politik Kolonial golongan Liberal harus sesuai dengan poltik Liberal negeri induk. Proteksi dan eksploitasi pemerintah ditanah jajahan dituntut menjadi Liberalisasi ekonomi di Hindia-Belanda. Sebagai ganti eksploitasi pemerintah akan dijalankan kebebasan berusaha dan kerja wajib diganti dengan kerja bebas.
Sejak Partai Liberal berkuasa dirintislah modernisasi seperti yang terdapat di negeri Belanda. Sesudah tahun 1870 perkembangan ini maju terus dengan pesatnya.Tidak dapat disangsikan, bahwa ide-ide humaniter telah memainkan peranannya terhadap Culturstellsel. Di dalam politik yang terlalu dipengaruhi oleh perasaan, sehingga timbul pertentangan hebat di dalam penginterpretasian ide-ide itu. Apa yang disebut dengan Free Labor (kerja bebas) oleh kaum liberal, oleh kaum sosialis dipandang sebagai kerja bebas yang berarti inisiatif partikelir bebas yang dapat dipandang sebagai seni perbudakan yang. Realisasi ide liberal di dalam politik kolonial terjadi kira-kira pada tahun 1870, yakni Partai Liberal mencapai puncaknya dan sekaligus permulaan dari kemundurannya.


2.2. Dari Politik Liberal ke Politik Ethis (1870-1900)
Kurang lebih tahun 1870 Belanda memasuki periode Kapitalisme modern. Teranglah bahwa Liberalisme memberi dorongan baru kepada kemajuan ekonomi.Didalam sistem baru ini pengusaha-pengusaha swasta mengambil alih perusahaan-perusahaan perkebunan yag dahulunya diurus oleh pemerintah kolonial namun perusahaan-peusahaan swasta menunukkan tanda-tanda lebih menekan daripada pemerintah. Perusahaan swasta dan modal bebas yang diharapkan akan melepaskan daerah-daerah jajahannya dari eksploitasi tetapi kenyataannya hanya ada pergantian eksploator.
Kira-kira pada tahun 1870, suatu tahun yang biasanya dianggap sebagai permulaan politik kolonial liberal. Pada waktu itu perkembangan sudah mencapai tingkat imperialisme modern dan kapitalisme monopoli. Menurut keadaan sistem partai pada tahun-tahun 1870an dapat dikatakan adanya perkembangan demokkratisasi yang meningkat. Proses ini disertai mundurnya liberalisme, perpecahan tidak dapat dielakkan sejak diluncurkannya issue agama. Semua partai mempunyai tujuan yang sama yakni daerah jajahan harus memberikan keuntungan bagi negeri induk dan kesejahteraan pribumi harus menjadi persoalan yang serius bagi pemerintahan kolonial. Tahun 1870 pada umumnya dianggap sebagai titik balik didalam sejarah politik kolonial Belanda satu-satunya alasan adalah Undang-undang Agraria yang disahkan dan mulai berlaku pada tahun  itu . pengambil alihan tanah penduduk pribumi dilarang , orang-orang asing diperbolehkn menyewa selama 5 tahun. Sistem baru ini memang menguntungkan namun kenyataannya undang-undang agraria hanya melindungi modal eropa yang ditanam diberbagai perkebunan, namun banyak konsekuensi-konsekuensi yang tidak terduga lainnya . hal pertama memang mencegah timbulnya kekuasaan yng akan merampas hak milik atas tanah secara tidak semena-mena,namun yang kedua bagaimanapun tetap ditujukan pada perusahaan yaitu memakai tanah penduduk. Akan tetapi tanah penduduk tidak dapat dipisahkan dengan tenaga kerja keduanya terjalin pada organisasi politik penduduk pribumi sehingga para penguasa tanah dapat menggunakan tenaga penduduk dengan sewenang-wenang walaupun melalui sistem kontrak. Bahwa akhirnya kebebasan berusaha , sebagai cita-cita sosial dan  ekonomi hampir-hampir menjadi kata lain dari eksploitasi kapitalis.
Hal ini banyak mendapat kritik-kritik dari politisi-politisi Belanda salah satunya Van Dedem yang menuntut dihapuskannya  pengambilan keuntungan dari tanah jajahan oleh negara induk. Bersamaan dengan itu juga timbul suatu orientasi politik kolonial baru yang terarah ke prinsip “Hindia Belanda untuk orang pribumi”, janji-janji tertuju pada kepentingan penduduk pribumi terus diucapkan, tetapi hampir-hampir tak ada yang dikerjakan untuk meningkatkan penghidupan mereka. Politik kolonial terbatas pada membuat penyelidikan dan persiapan untuk perbaikan. Pada permulaan abad 20 itu timbulah ide-ide yang anti imperialisme.
Sebagai dampak perkembangan pengajaran di Indonesia tumbuhlah golongan sosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru sesuai dengan diferensiasi serta spesialisasi dalam bidang sosial-ekonomi dan pemerintahan. Banyak fungsi yang memerlukan kejuruan atau keahlian teknologi seperti yang dibutuhkan dalam pembangunan industry pertanian, infrastruktur, berbagai kedinasan bagi bermacam-macam pelayanan masyarakat.
Hal itu wajar dalam evolusi, dan birokratisasi. Sekaligus terciptanya golongan professional yang sebagai golongan sosial baru tidak mempunyai tempat pada strata menurut stratifikasi sosial masyarakat tradisional. Ada usaha-usha untuk membuat hierarkis kepangkatan bagi para professional sesuai dengan hierarki menurut BB seperti pangkat mantra, asisten wedana,  wedana, bupati. Bagi rakyat kesejajaran pangkat tersebut memudahkan penentuan posisi sosial pejabat.
Suatu kenyataan bahwa baik menurut pendidikan yang diperolehnya maupun posisi sosial yang ditempatinya, para professional banyak sedikitnya mampu melakukan liberasi terhadap keterikatan tradisional dan foedal sehingga mempunyai ruang gerak sosial yang lebih luas. Selain itu, selama bekerja dia mendapat kesempatan bergaul dengan teman-teman dari daerah dan kebudayaan lain sehingga kecuali dapat meluaskan pandangan hidup juga mempunyai relasi yang lebih luas pula.
Dan kemudian berkembang menjadi jaringan sosial sehingga terciptalah ruang sosial, dimana integrasi nasional secara lambat laun terbangun. Kembali pada soal golongan professional, posisi sosialnya memungkinkan mereka berfungsi sebagai protagonist modernisasi pada umumnya dan sebagai perintis nasionalisme khususnya.

2.3. PolitikEthis (1900)
Golongan-golongan politik mengeluarkan keluhan dan kritik terhadap politik kolonial yang berlaku. Pada prinsipnya mereka bersepakat, bahwa tanah jajahan memang seharusnya memberikan keuntungan kepada Negara induk tetapi menjelang penutupan abad ke-19 berangsur-angsur berkumandanglah suara baru yang menunjukkan bahwa perhatian terhadap orang pribumi begitu besar. Dalam perdebatan-perdebatan yang seru dan tak kunjung berhenti tentang politik keuangan dipergunakan slogan baru untuk memaksakkan tuntuan mereka demi kepentingan orang pribumi. Sudahlah jelas, bahwa mereka memiliki ide dasar yang bersamaan tentang politik kolonial, yakni menyisihkan system eksploitasi dan menitikberatkan pada usaha kesejahterakan rakyat.
Sebagaimana telah ditunjukkan di muka, banyak kapitalis termasuk dalam golongan-golongan ini, maka oleh karena itu tuntutan untuk kerja bebas dan usaha bebas termasuk dalam program-program mereka. Hanya saja disini dengan dititik beratkan pada member perlindungan pada hak dan kepentingan penduduk pribumi. Tujuan terakhir politik colonial seharusnya ialah meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral penduduk pribumi, evolusi ekonomi, bukan eksploitasi kolonial melainkan pertanggung jawaban moral. Pada kongresnya yang diadakan di Utrecht pada tahun 1901 partai sosialis banyak menuntut diadakannya perbaikan kolonial. Di luar itu gerakan perbaikan juga dilancarkan oleh apa yang disebut kaum ethis, nama yang dipakai untuk menyebut politik kolonial yang baru yaitu politik ethis. Salah satu juru bicaranya yang terkemuka ialah Van Deventer, penulis artikel yang berjudul “Hutang Budi”. Perlu dijelaskan disini bahwa pada masa peralihan dari abad 19 ke abad 20 politik Ethis berkembang hampir bersamaan dengan,dan dimungkinkan oleh, arah baru di dalam politik kolonial partai-partai Belanda : arah baru itu biasanya disebut dengan nama politik kolonial daripada pendidikan moral. Sehubungan dengan arah baru didalam politik kolonial itu, maka tugas kolonial selanjutnya dipandang sebagai suatu missi kebudayaan yang bersifat moral sedangkan “politik mencari keuntungan” harus ditinggalkan cita-cita yang ideal ialah “memasukkan masyarakat Indonesia ke orbit kebudayaan penguasanya, supaya mereka memiliki peradaban barat”. Politik Ethis juga disebut sebagai politik paternalisasi atau perlindungan karena rakyat Indonesia lebih dianggap sebagai objek daripada partisipan di yang aktif di dalam pemerintahan.
Sudah terkenal, bahwa politik ethis menggunakan tiga sila sebagai slogannya yaitu Irigasi, Edukasi dan Emigrasi. Ide – ide Van Deventer itu memang segera dilaksanakan akan tetapi keuntungan kapitalis tetap menjadi tujuan utama, jadi penerapan gagasan politik etis ditumpangi oleh kepentungan kaum swasta kapitalis yang lebih mementingkan keuntungan sehingga gagasan-gagasan humaniter sebagaimana dimaui oleh pencetusnya diabaikan. Politik Ethis yang dimulai dengan semangat itu, pada awal tahun kedua dasawarsa mulai kabur dan pelaksanaannya diragukan. Keadaan sosial juga tidak banyak mengalami perubahan. Kemiskinan,buta huruf, dan kurangnya kesehatan masih tampak jelas dalam kehidupan rakyat suatu kenyataan bahwa bahwa politik Ethis akhirnya gagal.

2.4. Politik Kolonial Reaksioner
Kegagalan politik Ethis tampak jelas pada tahun-tahun terakhir Perang Dunia I, dengan timbulnya kemiskinan dan kelaparan dimana-mana. Perbedaan antara golongan pribumi dan Eropa sangat mencolok. Perusahaan mengalami kemajuan pesat dan keuntungan berlipat ganda tetapi semata-mata untuk kepentingan pengusaha sendiri, tidak mengherankan jika kegelisahan  sosial sangat meluas aksi-aksi politik pergerakan menjadi revolusioner. Dalam menghadapi suasana kegelisahan itu, Gubernur Van Limburg Stirum mengeluarkan janji pemerintah untuk mengadakan komisi perubahan yang akan bertugas meninjau kembali kekuasaan Volksraad dan struktur administrasi pemerintahan Hindia-Belanda. Pemerintahan Van Limburg Stirum (1916–1921) dapat mengambil hati kaum terpelajar karena pandangannya yang progresif dan memberi kesempatan organisasi pergerakkan kebangsaan hidup dengan terbuka. Tetapi itu tidak berlangsung lama sebab penggantinya, yaitu Fock (1921–1926) memerintah secara otokratis dan mengabaikan kekuatan rakyat yang sedang berkembang. Disamping itu, ia mempunyai tugas yang cukup berat. Di satu sisi ia harus menghemat anggaran, disisi lain harus dapat menambah penghasilan pemerintah dengan cara menaikan pajak. Akibat langsung dari politik Fock sejak 1922 itu tidak lain adalah radikalisasi pergerakan kebangsaan. Dalam dewan rakyat muncul kosentrasi radikal, dan gerakan non kooperasi mulai menjalar dikalangan pergerakan. Pergolakan di Hindia-Belanda memuncak pada akhir tahun 1926 dengan pecahnya perlawanan di Banten, Sumatra Barat, dan daerah–daerah lain di Jawa. Hal itu menyebabkan gubernur jenderal De Graeff (1926 – 1931) sebagai pengganti Fock menjalankan kebijakan yang keras dan bersifat reaksioner.
Perkembangan ini berjalan sejajar dengan proses perluasan industri barat yang membawa  akibat bahwa golongan barat hendak hidup dalam kelompok sendiri, terpisah, dan dibedakan dari golongan pribumi. Dengan demikian, gagasan–gagasan asosiasi tidak bergema lagi dikalangan luas golongan pribumi. Hal itu berarti bahwa proses polarisasi telah berjalan dan antagonisme antara barat dan pribumi mulai menajam. Haluan – haluan politik yang bersifat modern mulai ditarik, dan sebaliknya mulai diterapkan haluan politik yang lebih keras dan lebih reaksioner oleh De Jonge (1931 – 1936). Hal itu jelas sekali dari kebijakan yang diambilnya, yang membuka halaman baru dalam peta politik kolonial pada tahun 1930 an. Politiknya bersifat sangat reaksioner terhadap pergerakan kebangsaan Indonesia, yang sama sekali tidak dipahami arti dan hakekatnya serta tidak diakui eksistensinya.

2.5  Stratifikasi Sosial
Proses urbanisasi sebagai dampak proses birokratisasi, komersialisasi, dan modernisasi, pada umumnya menciptakan konsentrasi penduduk yang berasal tidak hanya dari daerah sekitarnya, tetapi juga dari tempat-tempat jauh di berbagai penjuru Indonesia, sehingga terciptalah jaringan hubungan sosial baru yang berbeda sifatnya dari hubungan sosial yang didasarkan atas ikatan komunal, seperti hubungan desa, keluarga, suku, dan lain-lain. Disini elite administrasi ataupun birokrasi di kota-kota kabupaten merupakan golongan yang berprestise, berkedudukan ekonomis baik, serta memiliki cukup kekuasaan.
Sejajar dengan tinggi rendahnya tingkat kepangkatan maka ada pembedaan antara priyayi gedhe dan priyayi cilik. Rakyat pada lapisan bawah termasuk golongan wong cilik. Disampng itu masih terdapat golongan bangsawan (ndara-ndara) yang terdiri atas orang-orang yang masih keturunan raja-raja sampai derajat keempat atau kelima. Kaum terpelajar yang telah memperoleh kedudukan dalam birokrasi pada umumnya juga hidup dengan gaya priyayi dan dengan demikian memperoleh status terhormat. Dari kalangan itulah muncul pemimpin-pemimpin gerakan nasional.
Meskipun penetrasi sistem administrasi kolonial modern telah berjalan selama satu abad lebih, namun posisi para birokrat pribumi dalam pemerintahan kolonial belum sepenuhnya didasarkan atas otoritas legal rasional, melainkan masih banyak menunjukkan sifat-sifat feodalistis. Ini tidak lain disebabkan karena dukungan kekuasaan kolonial semakin memperkuat kedudukan para birokrat.
1.    Feodalisme
Dalam struktur kekuasaan kolonial pada masa itu, kedudukan bupati dan elite birokrasi lainnya masih penuh dengan otoritarianisme. Oleh karena otoritas tradisional ternyata sangat instrumental bagi pelaksanaan pemerintahan kolonial, maka modernisasi birokrasi kearah sistem legal rasional hanya terbatas pada masalah-masalah administrative saja.
Disamping itu gaya hidup priyayi dan elite birokrasi masih diliputi oleh tradisionalisme, sedang kehidupan sosial di kota-kota kolonial bersifat segmentaris sehingga sistem tersendiri memang tidak memerlukan banyak adaptasi cultural terhadap kehidupan barat. Bersamaan dengan itu bahasa Belanda menjadi lambing status, tidak hanya berkaitan dengan tingkat pendidikannya, tetapi juga dengan derajat posisi sosialnya dalam masyarakat modern.
Politik kolonial Belanda yang nonasimilatif pada satu pihak membuat elite birokrasi condong pada konservatisme dan pada pihak lain dapat menghambat “Gerakan Kemajuan” menuju ke emansipasi.
2.    Emansipasi
Dengan bertambah banyaknya jumlah pelajar pribumi di sekolah Barat, khususnya dari kalangan priyayi, dunia Barat dan peradabannya lengkap dengan sistem politik, sosial, dan ekonominya mulai lebih dikenal. Sangat mengesankan tingkat kemajuan yang telah dicapai di Barat.
Terbukalah pada persepsi mereka bukan hanya perbedaan-perbedaan tingkat dan gaya hidup pribumi dengan Belanda atau Eropa saja, melainkan juga serba keterbelakangan dan Kuno ataupun kolotnya kehidupan tradisional itu. Mulai disadari perbedaan kualitas hidup antara gaya Barat yang serba bebas dengan pola kehidupan tradisional yang penuh keterikatan. Tradisi mulai dipandang bukan lagi sebagai sesuatu yang wajar dan harus dijunjung tinggi, melainkan sebagai hambatan terhadap “kemajuan”. Lambat laun tumbulah kesadaran bahwa untuk mencapai kemajuan diperlukan suatu liberasi dari belenggu adat-istiadat kuno. Gerakan emansipasi ini dikuamandangkan oleh R.A. Kartini lewat tulisan-tulisannya, khususnya dalam korespondensinya dengan sahabat karibnya Nyonya Abendanon. Kemudian kumpulan surat-surat itu diterbitkan dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Dipandang dari sudut ini tulisan R.A. Kartini justru mempertanyakan, mempersoalkan, dan menyangsikan segala sesuatu dari tradisi seperti yang dialami sendiri dalam kehidupannya di dalem kabupaten Jepara. Kesempatannya bersekolah dan bergaul dengan anak-anak Belanda membuka matanya serta membangkitkan kesadarannya akan dunia luar. Timbullah kejutan kebudayaan baginya, adanya hasrat besar untuk belajar, menuntut ilmu pengetahuan. Dan pada masa peralihan abad bagi kalangan aristokratis pribumi telah ada kesempatan untuk mengadakan kontak serta pergaulan dengan masyarakat Eropa, timbullah prakarsa untuk mendirikan sekolah-sekolah putrid, antara lain ada yang diasuh oleh para aristokrasi sendiri.

2.6              Golongan-golongan Sosial
Sebagai dampak perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang menyertai penetrasi sistem kolonial beserta modernisasinya, timbullah berbagai dinamika internal dalam masyarakat Indonesia sebagai akibat dari reaksi berbagai unsurnya serta interaksi di antaranya. Tergantung pada kedudukan sosialnya beserta nilai-nilai yang mengarahkan kehidupannyalah unsur-unsur itu menunjukkan perbedaan sikap serta tindakannya dalam menghadap perubahan itu.
Elite lama, seperti para ulama (elite religious), kaum bangsawan (nobilitas), dan aristokrasi ataupun elite birokrasi, pada umumnya merasa terancam kedudukannya serta kepentingannya, sehingga mau tak mau mereka membuat reaksi yang negative terhadap segala macam modernisasi seperti yang dibawah oleh kolonialisme.
Apabila di kota-kota pada umumnya para ulama telah masuk dalam lingkungan  birokrasi Kolonial dalam fungsinya sebagai penghulu yang mengepalai administrasi serta upacara agama, di daerah pedesaan peranan tradisional mereka dikatakan masih utuh. Dapat ditambahkan bahwa dalam bagian kedua abad ke-19 peningkatan jumlah orang yang “naik haji” tidak hanya meningkatkan religiositas rakyat, tetapi juga memperkuat kedudukan para haji, kyai, dan ulama. Peranan mereka di kota lazimnya tidak terlalu menonjol, antara lain karena dominasi peranan elite birokrasi dan kemdian kaum intelegensia.

1.         Elite Birokrasi
Struktur kekuasaan dalam sistem politik colonial seperti yang diterapkan oleh Belanda di Indonesia bertulangpunggungkan birokrasi menurut model sistem tradisional.
Pada hakekatnya fungsi BB pribumi sejak zaman VOC tidak berubah, yaitu sebagai perantara penguasa asing dengan rakyat yang telah ada kontak sejak lama dengan Belanda. Lagi pula posisinya sebagai perantara menempatkan para bupati serta para bawahannya dalam posisi yang strategis dalam bidang kultura sebagai unsur sosial yang terpaksa melakukan adaptasi terhadap perubahan poitik serta nilai-nilainya.
Sebagai keturunan aristocrat kuno, elite birokrasi menguasai jaringan sosial baik yang vertical maupun yang horizontal. Ini diperkuat oleh perkawinan antar keluarga dan kecenderungan untuk menjadikan jabatan BB herediter, turun temurun.
Banyak orang baru terdapat di berbagai bidang professional, antara lain di bidang kedokteran, pertanian, peternakan, pengajaran, komunikasi, dan lain sebagainya. Meskipun keterikatan pada hierarki birokrasi tak ada, lagi pula bebas dari gaya feudal, akan tetapi sebagai orang baru golongan elite professional itu memerlukan status sosial, yang hanya dapat diperoleh dengan menerima gaya priyayi, semacam neopriyayisme. Profesionalisme golongan tersebut tidak banyak membawa kebebasan bergerak, antara lain karena kedudukannya sebagai pegawai tidak memungkinkannya bergerak dalam politik yang radikal terhadap sistem kolonial.

2.         Priyayi Birokrasi dan Priyayi Profesional
Perkembangan masyarakat kolonial pada awal abad ke-20 telah mengalami dampak mobilitas kaum pribumi yang digerakkan oleh perluasan pengajaran. Meskipun masih ada pembatasan-pembatasannya, hal itu bukan lagi menjadi hak istimewa dari aristokrasi lama (kaum ningrat). Disini terdapat garis pemisah antara priyayi birokrasi dan priyayi professional.
Di kota-kota kecil hierarki birokrasi sangat ketat dan diperluas sampai diluar kedinasan; maka pada umumnya bagi priyayi professional tidak ada jalan lain selain menyesuaikan diri, lebih-lebih karena mereka sebagai orang baru memandang tinggi nilai-nilai kepriyayian yang dipolakan menurut gaya hidup priyayi birokrasi. Mengingat otoritas bupati ditempat maka suasana kehidupan kota kecil diliputi oleh feodalisme yang bertambah kuat.
Kalau hubungan dengan priyayi birokrasi terbatas, sebaliknya di lingkungan kota kecil interaksi antar golongan priyayi professional lebih intensif serta melampaui batas bidang professional. Sudah menjadi sangat wajar apabila tingkat pendidian dan besarnya penghasilan merupakan factor yang mampu mendekatkan jarak sosial antara priyayi birokrasi, baik yang ningrat maupun yang bukan.
Dalam menghadapi kedudukan marginal dalam masyarakat transisional itu ada setengahnya di antara itu yang berpaling pada model priyayi birokrasi yang hendak melaksanakan profesinya itu menurut etos tradisional mengenai kepegawaian dan pengabdian. Dan kesadaran nasional mulai muncul di kalangan kelompok intelegensia itu. Terciptalah orientasi tujuan politik yang mempunyai jangkauan jauh ke masa depan serta lebih kongkrit sifatnya daripada ide emansipasi dan progresivisme.

2.7    Segmentasi Sosio-Kultural
Perkembangan kecenderungan struktural yang menciptakan kondisi baik untuk meginterpretasikan politik elite modern ternyata menghadapi hambatan dengan adanya kekuatan sosial yang berupa segmentasi sosio-kultural, antara lain karena loyalitas primordial yang masih kuat, pola subkultural yang tertutup, struktur sosial yang foedal, sistem colonial yang pluralistic, dualism antara kota dan desa, dan lain sebagainya.
Dalam hai ini sudah tentu factor yang sangat besar pengaruhnya ialah jaringan komunikasi lewat transportasi, jalur telekomunikasi, media massa, berbagai kelembagaan modern, dan seterusnya.
Meskipun kaum priyayi professional menerima pendidikan di pusat-pusat persekolahan regional, dalam hal ini sekolah guru dan pangreh raja, keahliannya memungkinkan lingkungan pekerjaan yang jauh melampaui daerah subkulturalnya.


1.         Elite Agama
Dari perkembangan sejarah abad ke-19 diketahui umum bahwa telah terjadi revivalisme islam yang terwujud pada pertumbuhan pesantren di pedesaan, pendirian tarekat –tarekat, jumlah orang naik haji meningkat terus, dan lain sebagainya. Dalam pada itu menonjollah kepemimpinan para ulama, kyai, haji dalam kehidupan beragama.
Di kota ada unsure-unsur elite agama yang tergabung dalam sistem birokrasi kolonial, sehingga kedudukannya yang penuh ambivalensi itu mengakibatkan berkurangnya pengaruh pada rakyat. Di kota para ulama lebih banyak dihadapkan pada berbagai reaksi yang mereka tunjukkan dalam menghadapi proses perubahan itu.
Agama sebagai kekuatan integrative mempunyai potensi besar untuk menghilangkan segmentasi, khususnya yang horizontal. Sebaliknya, dualisme kota-desa tetap merupakan hambatan besar bagi proses integrasi lewat agama islam.
Fragmentasi yang timbul dari segmentasi itu tidak lain karena posisi kultural ataupun lokasi sosialnya sangat terikat pada tradisi islam sebagai agama yang sudah mapan. Kehadiran penguasa kolonial yang membawa berbagai perubahan sosio-kultural merupakan tantangan pada satu pihak dan ancaman di pihak lain.
Dalam konteks tradisional, agama islam terbukti dapat berfungsi sebagai lambing pemersatu dan sekaligus sebagai ideology politik sehingga menimbulkan kekuatan politik luar biasa, antara lain seperti yang diwujudkan dalam gerakan fisabililah, perang jihad, dan sebagainya.
Sementara itu kepemimpinan elite agama yang berakar dalam, baik di kota maupun di pedesaan, menghadapi antagonism tradisional dari golongan elite birokrasi khususnya dan priyayi pada umumnya.
Tidak banyak komunikasi yang terjadi di antara subkultur-subkultur dalam suatu lingkungan sosial, tidak lain karena adanya jarak sosio-kultural yang cukup memisahkan.



2.         Orang Kecil
Apabila menurut tradisi telah dibedakan dua subkultur priyayi masyarakat daerah tertentu umpamanya di Jawa antara desa dan kota colonial sendiri masih tampak jelas perbedaan antara gologan elite yang tinggal di loji dan kebanyakan orang kecil (wong cilik) tinggal di kampong.
Dalam keadaan seperti itu gaya hidup kota yang didasarkan atas struktur sosial beserta hierarkinya mempunyai cap ke-priyayian. Peranan dan kedudukan bupati yang sangat dominasi serta hierarki birokrasi yang ketat menciptakan pola hidup yang foedalistik.
Pedagang Cina mempunyai status rendah dalam masyarakat pribumi, sedangkan golongan professional pribumi, kebanyakan telah mengikuti gaya hidup priyayi. Maka dari itu tidak ada ruang sosial bagi golongan yang ingin membebaskan diri dari struktur feodalistik itu.
3.         Golongan Belanda
Di beberapa kota kabupaten terdapat komunitas Belanda yang mempunyai pekerjaan di perkebunan atau perusahaan di daerah sekitar kota itu. Oleh karena itu ada diskriminasi ras, maka garis warna membuat komunitas itu hidup dalam isolasi tanpa kontak dengan masyarakat sekitarnya.
Pada awal ke-20 ini telah ada di antara golongan Belanda itu kelompok Indo Eropa sebagai keturunan dari perkawinan campuran antara Belanda totok dengan pribumi, yaitu yang berstatus sebagai nyai atau gundhik; jadi tidak sebagai istri resmi.
Di kalangan Belanda sendiri ada diskriminasi antara totok dan indo, yang tidak semata-mata berdasarkan kemurnian daerah, tapi juga karena perbedaan status sosialya. Golongan Indo secara formal masuk status Eropa dan mereka mempunyai tendensi kuat untuk mengidentifikasikan diri dengan pihak Eropa dengan akibat bahwa pengingkaran asal dari pihak ibunya menjauhkan mereka dari masyarakat pribumi, padahal golongan totok sendiri tidak mau disamakan dengan golongan Indo.
Suatu langkah bagi minoritas golongan Indo untuk mengatasi rasa kurang harga diri ialah menunjukkan loyalitas serta afiliasi kepada penguasa kolonial dan menciptakan identitas ke-Eropaan.



















BAB 3
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Politik-politik yang berkembang pada abad ke-19 hingga awal ke-20 an  merupakan imperalisme yang  terdapat di dalam kegiatan orang-orang Belanda di Indonesia, Imperalisme itu senapas dengan usaha Belanda mencari keuntungan. Sesuai dengan perkembangannya setiap politik yang dicanangkan oleh Belanda saling memiliki keterkaitan dan hubungan antar satu dengan yang lainnya dan seringkali suatu politik diterapkan untuk memperbaiki politik sebelumnya. Pada perkembangan politik pada abad ke-19 ini setiap politik merupakan perbaikan dari politik sebelumnya seperti politik liberalisme menuju politik Ethis hingga politik reaksioner dan seterusnya. Perkembangan politik yang terjadi juga mempengaruhi keadaan ekonomi serta sosial pada masyarakat, khususnya sosial yang berkembang sehingga membentuk stratifikasi sosial hingga golongan sosial.
















Daftar Pustaka
Utomo Budi, Cahyo. 1995. Dinamika Pergerakkan Kebangsaan Indonesia dari Kebangitan Hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1990. Pengantar Indonesia Baru: Sejarah Pergerakkan Nasional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.