BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Bagian kedua abad ke-19
merupakan suatu periode baru bagi imperialisme Belanda yang ditandai oleh
politik kolonial yan berbeda sekali dengan politik kolonial yang telah dijalankan
sebelumnya. Kalau kepentingan-kepentingan Belanda semula terbatas pada
perdagangan, maka dalam periode ini Belanda lebih mengutamakan kepentingan
politik. Tujuan utama menkonsentrasi perdagangan rempah-rempah itu lambat laun
bergeser menjadi mengembangkan perkebunan-perkebunan besar yang hasilnya laku
diperdagangan Eropa sampai pertengahan abad ke-19 imperialisme Belanda masih
menganggap perdagangan sebagai kepentingan fundamental, sedang kepentingan
politik dan militer dinggap kurang esensial.
Pada bagian kedua abad ke-19
sedikit demi sedikit terjadi pergeseran dari periode yang tak berketentuan
kesuatu periode pembaharuan kepentingan kolonial. Peruahan ini terwujud dalam
tumbuhnya perkebunan-perkebunan seperti cendawan, tumbuhnya jaringan-jaringan
kereta api, berdirinya bank-bank, ekspedisi-ekspedisi militer, penyebaran agama
Kristen secara intensif. Oleh karena periode itu satu-satu dapat berbeda, maka
kita akan membuat batasan-batasan menurut titik-titik perubahan yang pokok,
yaitu tahun-tahun 1830, pada periode antara tahun-tahun 1848 dan 1901, sewaktu
politik kolonial liberal setapak demi setapak senggantikan sistem perdagangan
lama yang disertai monopoli dan eksploitasi tenaga kerja dan tanah pribumi.
Bagi Dunia Ketiga abad
ke-20 dapat diberikan julukan Abad Nasionalisme, yaitu suatu kurun waktu dalam sejarahnya
yang menyaksikan pertumbuhan kesadaran berbangsa serta gerakan nasionalis untuk
memperjuangkan kemerdekaannya. Perkembangan nasionalisme pada umumnya merupakan
reaksi terhadap imperialisme dan kolonialisme yang merajalela dalam abad ke-19
dan bagian pertama abad ke-20. Ekspansi barat sejak akhir abad ke-15
memunculkan Belanda beserta VOC-nya sebagai pemegang monopoli serta hegemoni politik
di kawasan Nusantara, kendati perlawanan yang dihadapi ada di mana-mana.
Berbeda sekali dengan sifat perlawanan itu, gerakan nasional mewujudkan corak dan
bentuk jawaban yang disesuaikan dengan struktur serta sistem masyarakat kolonial,
maka periode 1900-1942 sebagai periode gerakan itu dapat dibedakan dari masa
sebelumnya.
1.2. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
perkembangan politik pada abad ke-19 hingga awal
abad
ke-20?
2. Bagaimana perubahan politik liberal menuju politik Ethis?
3.
Apa
saja perkembangan
stratifikasi sosial
pada abad 19 hingga
awal abad ke-20 ?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui perkembangan politik pada abad ke -19
hingga awal abad ke- 20
2. Mengetahui tahapan-tahapan perubahan politik
liberal menuju politik Ethis
3. Memahami stratifikasi sosial pada abad ke-19
hingga awal abad ke -20
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1.
Permulaan Kolonial Politik Liberal (1850-1870)
Periode antara tahun-tahun
1850-1870 ditambah oleh pesatnya kemajuan perdagangan Eropa dan negeri Belanda.
Masa ini merupakan periode transisi dari keadaan pra-industri ke industri.
Tidak dapat disangsikan lagi, bahwa Culturstelsel ikut serta membangun kembali ekonomi
secara besar-besaran, disamping memasukkan jutaan kekayaan ke dalam perbendaharaan
Belanda. Politik ekonomi kaum liberal adalah kebalikan dari politik yang
dijalankan oleh Willem I. Prinsip yang dianut sekarang adalah prinsip “Tidak Campur
Tangan”. Kecenderungan umum di Eropa yang menuju keperdagangan bebas menyebabkan
Belanda menghapus peraturan-peraturan proteksinya. Gejala yang menyertai industrialisasi dan perdagangan
bebas adalah bekembang dan bergeraknya modal. Dengan dihapuskannya
Culturstellsel secara berangsur-angsur, maka tanaman wajib pemerintah diganti dengan pekebunan-perkebunan yang
diusahakan oleh pengusaha-pengusaha swasta. Sebetulnya masa 20
tahun ini (1850-1870) dapat dianggap juga masa konsolidasi ke negara Liberal, sesungguhnya politik
Kolonial golongan Liberal harus sesuai dengan poltik Liberal negeri induk. Proteksi dan
eksploitasi pemerintah
ditanah jajahan
dituntut menjadi
Liberalisasi ekonomi di Hindia-Belanda. Sebagai ganti
eksploitasi pemerintah
akan dijalankan
kebebasan berusaha
dan kerja
wajib diganti
dengan kerja
bebas.
Sejak Partai Liberal
berkuasa dirintislah modernisasi seperti yang terdapat di negeri Belanda.
Sesudah tahun 1870 perkembangan ini maju terus dengan pesatnya.Tidak dapat
disangsikan, bahwa ide-ide humaniter telah memainkan peranannya terhadap
Culturstellsel. Di dalam politik yang terlalu dipengaruhi oleh perasaan,
sehingga timbul pertentangan hebat di dalam penginterpretasian ide-ide itu. Apa
yang disebut dengan Free Labor (kerja bebas) oleh kaum liberal, oleh kaum
sosialis dipandang sebagai kerja bebas yang berarti inisiatif partikelir bebas
yang dapat dipandang sebagai seni perbudakan yang. Realisasi ide liberal di
dalam politik kolonial terjadi kira-kira pada tahun 1870, yakni Partai Liberal
mencapai puncaknya dan sekaligus permulaan dari kemundurannya.
2.2. Dari
Politik Liberal ke Politik Ethis (1870-1900)
Kurang lebih tahun 1870
Belanda memasuki periode Kapitalisme modern. Teranglah bahwa Liberalisme
memberi dorongan baru kepada kemajuan ekonomi.Didalam sistem baru ini pengusaha-pengusaha
swasta mengambil alih perusahaan-perusahaan perkebunan yag dahulunya diurus
oleh pemerintah kolonial namun perusahaan-peusahaan swasta menunukkan
tanda-tanda lebih menekan daripada pemerintah. Perusahaan swasta dan modal
bebas yang diharapkan akan melepaskan daerah-daerah jajahannya dari eksploitasi
tetapi kenyataannya hanya ada pergantian eksploator.
Kira-kira pada tahun
1870, suatu tahun yang biasanya dianggap sebagai permulaan politik kolonial
liberal. Pada waktu itu perkembangan sudah mencapai tingkat imperialisme modern
dan kapitalisme monopoli. Menurut keadaan sistem partai pada tahun-tahun 1870an
dapat dikatakan adanya perkembangan demokkratisasi yang meningkat. Proses ini
disertai mundurnya liberalisme, perpecahan tidak dapat dielakkan sejak
diluncurkannya issue agama. Semua partai mempunyai tujuan yang sama yakni
daerah jajahan harus memberikan keuntungan bagi negeri induk dan kesejahteraan
pribumi harus menjadi persoalan yang serius bagi pemerintahan kolonial. Tahun
1870 pada umumnya dianggap sebagai titik balik didalam sejarah politik kolonial
Belanda satu-satunya alasan adalah Undang-undang Agraria yang disahkan dan
mulai berlaku pada tahun itu . pengambil
alihan tanah penduduk pribumi dilarang , orang-orang asing diperbolehkn menyewa
selama 5 tahun. Sistem baru ini memang menguntungkan namun kenyataannya
undang-undang agraria hanya melindungi modal eropa yang ditanam diberbagai perkebunan,
namun banyak konsekuensi-konsekuensi yang tidak terduga lainnya . hal pertama
memang mencegah timbulnya kekuasaan yng akan merampas hak milik atas tanah
secara tidak semena-mena,namun yang kedua bagaimanapun tetap ditujukan pada
perusahaan yaitu memakai tanah penduduk. Akan tetapi tanah penduduk tidak dapat
dipisahkan dengan tenaga kerja keduanya terjalin pada organisasi politik
penduduk pribumi sehingga para penguasa tanah dapat menggunakan tenaga penduduk
dengan sewenang-wenang walaupun melalui sistem kontrak. Bahwa akhirnya
kebebasan berusaha , sebagai cita-cita sosial dan ekonomi hampir-hampir menjadi kata lain dari
eksploitasi kapitalis.
Hal ini banyak mendapat
kritik-kritik dari politisi-politisi Belanda salah satunya Van Dedem yang
menuntut dihapuskannya pengambilan
keuntungan dari tanah jajahan oleh negara induk. Bersamaan dengan itu juga
timbul suatu orientasi politik kolonial baru yang terarah ke prinsip “Hindia
Belanda untuk orang pribumi”, janji-janji tertuju pada kepentingan penduduk pribumi
terus diucapkan, tetapi hampir-hampir tak ada yang dikerjakan untuk
meningkatkan penghidupan mereka. Politik kolonial terbatas pada membuat
penyelidikan dan persiapan untuk perbaikan. Pada permulaan abad 20 itu timbulah
ide-ide yang anti imperialisme.
Sebagai
dampak perkembangan pengajaran di Indonesia tumbuhlah golongan sosial baru yang
mempunyai fungsi dan status baru sesuai dengan diferensiasi serta spesialisasi
dalam bidang sosial-ekonomi dan pemerintahan. Banyak fungsi yang memerlukan
kejuruan atau keahlian teknologi seperti yang dibutuhkan dalam pembangunan
industry pertanian, infrastruktur, berbagai kedinasan bagi bermacam-macam
pelayanan masyarakat.
Hal
itu wajar dalam evolusi, dan birokratisasi. Sekaligus terciptanya golongan
professional yang sebagai golongan sosial baru tidak mempunyai tempat pada
strata menurut stratifikasi sosial masyarakat tradisional. Ada usaha-usha untuk
membuat hierarkis kepangkatan bagi para professional sesuai dengan hierarki
menurut BB seperti pangkat mantra, asisten wedana, wedana, bupati. Bagi rakyat kesejajaran
pangkat tersebut memudahkan penentuan posisi sosial pejabat.
Suatu
kenyataan bahwa baik menurut pendidikan yang diperolehnya maupun posisi sosial
yang ditempatinya, para professional banyak sedikitnya mampu melakukan liberasi
terhadap keterikatan tradisional dan foedal sehingga mempunyai ruang gerak
sosial yang lebih luas. Selain itu, selama bekerja dia mendapat kesempatan
bergaul dengan teman-teman dari daerah dan kebudayaan lain sehingga kecuali
dapat meluaskan pandangan hidup juga mempunyai relasi yang lebih luas pula.
Dan
kemudian berkembang menjadi jaringan sosial sehingga terciptalah ruang sosial,
dimana integrasi nasional secara lambat laun terbangun. Kembali pada soal
golongan professional, posisi sosialnya memungkinkan mereka berfungsi sebagai
protagonist modernisasi pada umumnya dan sebagai perintis nasionalisme
khususnya.
2.3. PolitikEthis
(1900)
Golongan-golongan
politik
mengeluarkan
keluhan
dan
kritik
terhadap
politik
kolonial yang berlaku. Pada
prinsipnya
mereka
bersepakat, bahwa
tanah
jajahan
memang
seharusnya
memberikan
keuntungan
kepada
Negara
induk
tetapi
menjelang
penutupan
abad ke-19 berangsur-angsur
berkumandanglah
suara
baru yang menunjukkan
bahwa
perhatian
terhadap orang pribumi
begitu
besar. Dalam
perdebatan-perdebatan yang
seru dan tak kunjung berhenti tentang politik keuangan dipergunakan slogan baru
untuk
memaksakkan
tuntuan
mereka demi kepentingan
orang pribumi. Sudahlah jelas, bahwa mereka memiliki ide dasar yang bersamaan
tentang
politik
kolonial, yakni
menyisihkan system eksploitasi dan menitikberatkan
pada
usaha
kesejahterakan
rakyat.
Sebagaimana
telah
ditunjukkan di muka, banyak
kapitalis
termasuk
dalam
golongan-golongan
ini, maka
oleh
karena
itu
tuntutan
untuk
kerja
bebas
dan
usaha
bebas
termasuk
dalam program-program
mereka. Hanya saja disini dengan dititik beratkan pada member perlindungan pada hak dan kepentingan penduduk pribumi. Tujuan
terakhir politik colonial seharusnya ialah meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan
moral penduduk pribumi, evolusi ekonomi, bukan eksploitasi kolonial melainkan pertanggung
jawaban moral. Pada kongresnya yang diadakan di Utrecht pada tahun 1901 partai sosialis
banyak menuntut diadakannya perbaikan kolonial. Di luar itu gerakan perbaikan juga
dilancarkan oleh apa yang disebut kaum ethis, nama yang dipakai untuk menyebut politik
kolonial yang baru yaitu politik ethis. Salah satu juru bicaranya yang
terkemuka ialah Van Deventer, penulis artikel yang berjudul “Hutang Budi”.
Perlu dijelaskan disini bahwa pada masa peralihan dari abad 19 ke abad 20
politik Ethis berkembang hampir bersamaan dengan,dan dimungkinkan oleh, arah
baru di dalam politik kolonial partai-partai Belanda : arah baru itu biasanya
disebut dengan nama politik kolonial daripada pendidikan moral. Sehubungan
dengan arah baru didalam politik kolonial itu, maka tugas kolonial selanjutnya
dipandang sebagai suatu missi kebudayaan yang bersifat moral sedangkan “politik
mencari keuntungan” harus ditinggalkan cita-cita yang ideal ialah “memasukkan
masyarakat Indonesia ke orbit kebudayaan penguasanya, supaya mereka memiliki
peradaban barat”. Politik Ethis juga disebut sebagai politik paternalisasi atau
perlindungan karena rakyat Indonesia lebih dianggap sebagai objek daripada
partisipan di yang aktif di dalam pemerintahan.
Sudah
terkenal, bahwa politik ethis menggunakan tiga sila sebagai slogannya yaitu Irigasi,
Edukasi dan Emigrasi. Ide – ide Van Deventer itu memang segera dilaksanakan
akan tetapi keuntungan kapitalis tetap menjadi tujuan utama, jadi penerapan
gagasan politik etis ditumpangi oleh kepentungan kaum swasta kapitalis yang
lebih mementingkan keuntungan sehingga gagasan-gagasan humaniter sebagaimana
dimaui oleh pencetusnya diabaikan. Politik Ethis yang dimulai dengan semangat
itu, pada awal tahun kedua dasawarsa mulai kabur dan pelaksanaannya diragukan.
Keadaan sosial juga tidak banyak mengalami perubahan. Kemiskinan,buta huruf,
dan kurangnya kesehatan masih tampak jelas dalam kehidupan rakyat suatu
kenyataan bahwa bahwa politik Ethis akhirnya gagal.
2.4. Politik Kolonial
Reaksioner
Kegagalan
politik Ethis tampak jelas pada tahun-tahun terakhir Perang Dunia I, dengan
timbulnya kemiskinan dan kelaparan dimana-mana. Perbedaan antara golongan pribumi
dan Eropa sangat mencolok. Perusahaan mengalami kemajuan pesat dan keuntungan
berlipat ganda tetapi semata-mata untuk kepentingan pengusaha sendiri, tidak
mengherankan jika kegelisahan sosial
sangat meluas aksi-aksi politik pergerakan menjadi revolusioner. Dalam menghadapi
suasana kegelisahan itu, Gubernur Van Limburg Stirum mengeluarkan janji pemerintah
untuk mengadakan komisi perubahan yang akan bertugas meninjau kembali kekuasaan
Volksraad dan struktur administrasi pemerintahan Hindia-Belanda. Pemerintahan
Van Limburg Stirum (1916–1921) dapat mengambil hati kaum terpelajar karena pandangannya
yang progresif dan memberi kesempatan organisasi pergerakkan kebangsaan hidup dengan
terbuka. Tetapi itu tidak berlangsung lama sebab penggantinya, yaitu Fock (1921–1926)
memerintah secara otokratis dan mengabaikan kekuatan rakyat yang sedang berkembang.
Disamping itu, ia mempunyai tugas yang cukup berat. Di satu sisi ia harus menghemat
anggaran, disisi lain harus dapat menambah penghasilan pemerintah dengan cara menaikan
pajak. Akibat langsung dari politik Fock sejak 1922 itu tidak lain adalah radikalisasi
pergerakan kebangsaan. Dalam dewan rakyat muncul kosentrasi radikal, dan gerakan
non kooperasi mulai menjalar dikalangan pergerakan. Pergolakan di Hindia-Belanda
memuncak pada akhir tahun 1926 dengan pecahnya perlawanan di Banten, Sumatra
Barat, dan daerah–daerah lain di Jawa. Hal itu menyebabkan gubernur jenderal De
Graeff (1926 – 1931) sebagai pengganti Fock menjalankan kebijakan yang keras dan
bersifat reaksioner.
Perkembangan
ini berjalan sejajar dengan proses perluasan industri barat yang membawa akibat bahwa golongan barat hendak hidup dalam
kelompok sendiri, terpisah, dan dibedakan dari golongan pribumi. Dengan demikian,
gagasan–gagasan asosiasi tidak bergema lagi dikalangan luas golongan pribumi.
Hal itu berarti bahwa proses polarisasi telah berjalan dan antagonisme antara barat
dan pribumi mulai menajam. Haluan – haluan politik yang bersifat modern mulai ditarik,
dan sebaliknya mulai diterapkan haluan politik yang lebih keras dan lebih reaksioner
oleh De Jonge (1931 – 1936). Hal itu jelas sekali dari kebijakan yang
diambilnya, yang membuka halaman baru dalam peta politik kolonial pada tahun
1930 an. Politiknya bersifat sangat reaksioner terhadap pergerakan kebangsaan
Indonesia, yang sama sekali tidak dipahami arti dan hakekatnya serta tidak diakui
eksistensinya.
2.5
Stratifikasi
Sosial
Proses
urbanisasi sebagai dampak proses birokratisasi, komersialisasi, dan
modernisasi, pada umumnya menciptakan konsentrasi penduduk yang berasal tidak
hanya dari daerah sekitarnya, tetapi juga dari tempat-tempat jauh di berbagai
penjuru Indonesia, sehingga terciptalah jaringan hubungan sosial baru yang
berbeda sifatnya dari hubungan sosial yang didasarkan atas ikatan komunal,
seperti hubungan desa, keluarga, suku, dan lain-lain. Disini elite administrasi
ataupun birokrasi di kota-kota kabupaten merupakan golongan yang berprestise,
berkedudukan ekonomis baik, serta memiliki cukup kekuasaan.
Sejajar
dengan tinggi rendahnya tingkat kepangkatan maka ada pembedaan antara priyayi
gedhe dan priyayi cilik. Rakyat pada lapisan bawah termasuk golongan wong
cilik. Disampng itu masih terdapat golongan bangsawan (ndara-ndara) yang
terdiri atas orang-orang yang masih keturunan raja-raja sampai derajat keempat
atau kelima. Kaum terpelajar yang telah memperoleh kedudukan dalam birokrasi
pada umumnya juga hidup dengan gaya priyayi dan dengan demikian memperoleh
status terhormat. Dari kalangan itulah muncul pemimpin-pemimpin gerakan nasional.
Meskipun
penetrasi sistem administrasi kolonial modern telah berjalan selama satu abad
lebih, namun posisi para birokrat pribumi dalam pemerintahan kolonial belum
sepenuhnya didasarkan atas otoritas legal rasional, melainkan masih banyak
menunjukkan sifat-sifat feodalistis. Ini tidak lain disebabkan karena dukungan
kekuasaan kolonial semakin memperkuat kedudukan para birokrat.
1. Feodalisme
Dalam
struktur kekuasaan kolonial pada masa itu, kedudukan bupati dan elite birokrasi
lainnya masih penuh dengan otoritarianisme. Oleh karena otoritas tradisional
ternyata sangat instrumental bagi pelaksanaan pemerintahan kolonial, maka
modernisasi birokrasi kearah sistem legal rasional hanya terbatas pada
masalah-masalah administrative saja.
Disamping
itu gaya hidup priyayi dan elite birokrasi masih diliputi oleh tradisionalisme,
sedang kehidupan sosial di kota-kota kolonial bersifat segmentaris sehingga
sistem tersendiri memang tidak memerlukan banyak adaptasi cultural terhadap
kehidupan barat. Bersamaan dengan itu bahasa Belanda menjadi lambing status,
tidak hanya berkaitan dengan tingkat pendidikannya, tetapi juga dengan derajat
posisi sosialnya dalam masyarakat modern.
Politik
kolonial Belanda yang nonasimilatif pada satu pihak membuat elite birokrasi
condong pada konservatisme dan pada pihak lain dapat menghambat “Gerakan
Kemajuan” menuju ke emansipasi.
2. Emansipasi
Dengan
bertambah banyaknya jumlah pelajar pribumi di sekolah Barat, khususnya dari
kalangan priyayi, dunia Barat dan peradabannya lengkap dengan sistem politik,
sosial, dan ekonominya mulai lebih dikenal. Sangat mengesankan tingkat kemajuan
yang telah dicapai di Barat.
Terbukalah
pada persepsi mereka bukan hanya perbedaan-perbedaan tingkat dan gaya hidup
pribumi dengan Belanda atau Eropa saja, melainkan juga serba keterbelakangan
dan Kuno ataupun kolotnya kehidupan tradisional itu. Mulai disadari perbedaan
kualitas hidup antara gaya Barat yang serba bebas dengan pola kehidupan
tradisional yang penuh keterikatan. Tradisi mulai dipandang bukan lagi sebagai
sesuatu yang wajar dan harus dijunjung tinggi, melainkan sebagai hambatan
terhadap “kemajuan”. Lambat laun tumbulah kesadaran bahwa untuk mencapai
kemajuan diperlukan suatu liberasi dari belenggu adat-istiadat kuno. Gerakan
emansipasi ini dikuamandangkan oleh R.A. Kartini lewat tulisan-tulisannya,
khususnya dalam korespondensinya dengan sahabat karibnya Nyonya Abendanon.
Kemudian kumpulan surat-surat itu diterbitkan dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Dipandang
dari sudut ini tulisan R.A. Kartini justru mempertanyakan, mempersoalkan, dan
menyangsikan segala sesuatu dari tradisi seperti yang dialami sendiri dalam
kehidupannya di dalem kabupaten
Jepara. Kesempatannya bersekolah dan bergaul dengan anak-anak Belanda membuka
matanya serta membangkitkan kesadarannya akan dunia luar. Timbullah kejutan
kebudayaan baginya, adanya hasrat besar untuk belajar, menuntut ilmu
pengetahuan. Dan pada masa peralihan abad bagi kalangan aristokratis pribumi
telah ada kesempatan untuk mengadakan kontak serta pergaulan dengan masyarakat
Eropa, timbullah prakarsa untuk mendirikan sekolah-sekolah putrid, antara lain
ada yang diasuh oleh para aristokrasi sendiri.
2.6
Golongan-golongan
Sosial
Sebagai
dampak perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang menyertai penetrasi sistem
kolonial beserta modernisasinya, timbullah berbagai dinamika internal dalam
masyarakat Indonesia sebagai akibat dari reaksi berbagai unsurnya serta
interaksi di antaranya. Tergantung pada kedudukan sosialnya beserta nilai-nilai
yang mengarahkan kehidupannyalah unsur-unsur itu menunjukkan perbedaan sikap
serta tindakannya dalam menghadap perubahan itu.
Elite
lama, seperti para ulama (elite religious), kaum bangsawan (nobilitas), dan
aristokrasi ataupun elite birokrasi, pada umumnya merasa terancam kedudukannya
serta kepentingannya, sehingga mau tak mau mereka membuat reaksi yang negative
terhadap segala macam modernisasi seperti yang dibawah oleh kolonialisme.
Apabila
di kota-kota pada umumnya para ulama telah masuk dalam lingkungan birokrasi Kolonial dalam fungsinya sebagai
penghulu yang mengepalai administrasi serta upacara agama, di daerah pedesaan
peranan tradisional mereka dikatakan masih utuh. Dapat ditambahkan bahwa dalam
bagian kedua abad ke-19 peningkatan jumlah orang yang “naik haji” tidak hanya
meningkatkan religiositas rakyat, tetapi juga memperkuat kedudukan para haji,
kyai, dan ulama. Peranan mereka di kota lazimnya tidak terlalu menonjol, antara
lain karena dominasi peranan elite birokrasi dan kemdian kaum intelegensia.
1.
Elite
Birokrasi
Struktur
kekuasaan dalam sistem politik colonial seperti yang diterapkan oleh Belanda di
Indonesia bertulangpunggungkan birokrasi menurut model sistem tradisional.
Pada
hakekatnya fungsi BB pribumi sejak zaman VOC tidak berubah, yaitu sebagai
perantara penguasa asing dengan rakyat yang telah ada kontak sejak lama dengan
Belanda. Lagi pula posisinya sebagai perantara menempatkan para bupati serta
para bawahannya dalam posisi yang strategis dalam bidang kultura sebagai unsur
sosial yang terpaksa melakukan adaptasi terhadap perubahan poitik serta
nilai-nilainya.
Sebagai
keturunan aristocrat kuno, elite birokrasi menguasai jaringan sosial baik yang
vertical maupun yang horizontal. Ini diperkuat oleh perkawinan antar keluarga
dan kecenderungan untuk menjadikan jabatan BB herediter, turun temurun.
Banyak
orang baru terdapat di berbagai bidang professional, antara lain di bidang
kedokteran, pertanian, peternakan, pengajaran, komunikasi, dan lain sebagainya.
Meskipun keterikatan pada hierarki birokrasi tak ada, lagi pula bebas dari gaya
feudal, akan tetapi sebagai orang baru golongan elite professional itu
memerlukan status sosial, yang hanya dapat diperoleh dengan menerima gaya
priyayi, semacam neopriyayisme. Profesionalisme golongan tersebut tidak banyak
membawa kebebasan bergerak, antara lain karena kedudukannya sebagai pegawai
tidak memungkinkannya bergerak dalam politik yang radikal terhadap sistem
kolonial.
2.
Priyayi
Birokrasi dan Priyayi Profesional
Perkembangan
masyarakat kolonial pada awal abad ke-20 telah mengalami dampak mobilitas kaum
pribumi yang digerakkan oleh perluasan pengajaran. Meskipun masih ada
pembatasan-pembatasannya, hal itu bukan lagi menjadi hak istimewa dari
aristokrasi lama (kaum ningrat). Disini terdapat garis pemisah antara priyayi
birokrasi dan priyayi professional.
Di
kota-kota kecil hierarki birokrasi sangat ketat dan diperluas sampai diluar
kedinasan; maka pada umumnya bagi priyayi professional tidak ada jalan lain
selain menyesuaikan diri, lebih-lebih karena mereka sebagai orang baru
memandang tinggi nilai-nilai kepriyayian yang dipolakan menurut gaya hidup
priyayi birokrasi. Mengingat otoritas bupati ditempat maka suasana kehidupan
kota kecil diliputi oleh feodalisme yang bertambah kuat.
Kalau
hubungan dengan priyayi birokrasi terbatas, sebaliknya di lingkungan kota kecil
interaksi antar golongan priyayi professional lebih intensif serta melampaui
batas bidang professional. Sudah menjadi sangat wajar apabila tingkat pendidian
dan besarnya penghasilan merupakan factor yang mampu mendekatkan jarak sosial
antara priyayi birokrasi, baik yang ningrat maupun yang bukan.
Dalam
menghadapi kedudukan marginal dalam masyarakat transisional itu ada setengahnya
di antara itu yang berpaling pada model priyayi birokrasi yang hendak
melaksanakan profesinya itu menurut etos tradisional mengenai kepegawaian dan
pengabdian. Dan kesadaran nasional mulai muncul di kalangan kelompok
intelegensia itu. Terciptalah orientasi tujuan politik yang mempunyai jangkauan
jauh ke masa depan serta lebih kongkrit sifatnya daripada ide emansipasi dan
progresivisme.
2.7
Segmentasi
Sosio-Kultural
Perkembangan
kecenderungan struktural yang menciptakan kondisi baik untuk meginterpretasikan
politik elite modern ternyata menghadapi hambatan dengan adanya kekuatan sosial
yang berupa segmentasi sosio-kultural, antara lain karena loyalitas primordial
yang masih kuat, pola subkultural yang tertutup, struktur sosial yang foedal,
sistem colonial yang pluralistic, dualism antara kota dan desa, dan lain
sebagainya.
Dalam
hai ini sudah tentu factor yang sangat besar pengaruhnya ialah jaringan
komunikasi lewat transportasi, jalur telekomunikasi, media massa, berbagai
kelembagaan modern, dan seterusnya.
Meskipun
kaum priyayi professional menerima pendidikan di pusat-pusat persekolahan
regional, dalam hal ini sekolah guru dan pangreh raja, keahliannya memungkinkan
lingkungan pekerjaan yang jauh melampaui daerah subkulturalnya.
Dari
perkembangan sejarah abad ke-19 diketahui umum bahwa telah terjadi revivalisme
islam yang terwujud pada pertumbuhan pesantren di pedesaan, pendirian tarekat
–tarekat, jumlah orang naik haji meningkat terus, dan lain sebagainya. Dalam
pada itu menonjollah kepemimpinan para ulama, kyai, haji dalam kehidupan
beragama.
Di
kota ada unsure-unsur elite agama yang tergabung dalam sistem birokrasi
kolonial, sehingga kedudukannya yang penuh ambivalensi itu mengakibatkan
berkurangnya pengaruh pada rakyat. Di kota para ulama lebih banyak dihadapkan
pada berbagai reaksi yang mereka tunjukkan dalam menghadapi proses perubahan
itu.
Agama
sebagai kekuatan integrative mempunyai potensi besar untuk menghilangkan
segmentasi, khususnya yang horizontal. Sebaliknya, dualisme kota-desa tetap
merupakan hambatan besar bagi proses integrasi lewat agama islam.
Fragmentasi
yang timbul dari segmentasi itu tidak lain karena posisi kultural ataupun
lokasi sosialnya sangat terikat pada tradisi islam sebagai agama yang sudah
mapan. Kehadiran penguasa kolonial yang membawa berbagai perubahan
sosio-kultural merupakan tantangan pada satu pihak dan ancaman di pihak lain.
Dalam
konteks tradisional, agama islam terbukti dapat berfungsi sebagai lambing
pemersatu dan sekaligus sebagai ideology politik sehingga menimbulkan kekuatan
politik luar biasa, antara lain seperti yang diwujudkan dalam gerakan
fisabililah, perang jihad, dan sebagainya.
Sementara
itu kepemimpinan elite agama yang berakar dalam, baik di kota maupun di
pedesaan, menghadapi antagonism tradisional dari golongan elite birokrasi
khususnya dan priyayi pada umumnya.
Tidak
banyak komunikasi yang terjadi di antara subkultur-subkultur dalam suatu
lingkungan sosial, tidak lain karena adanya jarak sosio-kultural yang cukup
memisahkan.
2.
Orang
Kecil
Apabila
menurut tradisi telah dibedakan dua subkultur priyayi masyarakat daerah
tertentu umpamanya di Jawa antara desa dan kota colonial sendiri masih tampak
jelas perbedaan antara gologan elite yang tinggal di loji dan kebanyakan orang
kecil (wong cilik) tinggal di kampong.
Dalam
keadaan seperti itu gaya hidup kota yang didasarkan atas struktur sosial
beserta hierarkinya mempunyai cap ke-priyayian. Peranan dan kedudukan bupati
yang sangat dominasi serta hierarki birokrasi yang ketat menciptakan pola hidup
yang foedalistik.
Pedagang
Cina mempunyai status rendah dalam masyarakat pribumi, sedangkan golongan
professional pribumi, kebanyakan telah mengikuti gaya hidup priyayi. Maka dari
itu tidak ada ruang sosial bagi golongan yang ingin membebaskan diri dari
struktur feodalistik itu.
3.
Golongan
Belanda
Di
beberapa kota kabupaten terdapat komunitas Belanda yang mempunyai pekerjaan di
perkebunan atau perusahaan di daerah sekitar kota itu. Oleh karena itu ada
diskriminasi ras, maka garis warna membuat komunitas itu hidup dalam isolasi
tanpa kontak dengan masyarakat sekitarnya.
Pada
awal ke-20 ini telah ada di antara golongan Belanda itu kelompok Indo Eropa
sebagai keturunan dari perkawinan campuran antara Belanda totok dengan pribumi,
yaitu yang berstatus sebagai nyai atau gundhik; jadi tidak sebagai istri resmi.
Di
kalangan Belanda sendiri ada diskriminasi antara totok dan indo, yang tidak
semata-mata berdasarkan kemurnian daerah, tapi juga karena perbedaan status
sosialya. Golongan Indo secara formal masuk status Eropa dan mereka mempunyai
tendensi kuat untuk mengidentifikasikan diri dengan pihak Eropa dengan akibat
bahwa pengingkaran asal dari pihak ibunya menjauhkan mereka dari masyarakat
pribumi, padahal golongan totok sendiri tidak mau disamakan dengan golongan
Indo.
Suatu
langkah bagi minoritas golongan Indo untuk mengatasi rasa kurang harga diri
ialah menunjukkan loyalitas serta afiliasi kepada penguasa kolonial dan menciptakan
identitas ke-Eropaan.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Politik-politik yang berkembang
pada
abad
ke-19 hingga awal ke-20 an merupakan
imperalisme yang terdapat di dalam
kegiatan
orang-orang Belanda di Indonesia, Imperalisme
itu
senapas
dengan
usaha
Belanda
mencari
keuntungan.
Sesuai dengan perkembangannya setiap politik yang dicanangkan oleh Belanda saling
memiliki keterkaitan dan hubungan antar satu dengan yang lainnya dan seringkali
suatu politik diterapkan untuk memperbaiki politik sebelumnya. Pada
perkembangan politik pada abad ke-19 ini setiap politik merupakan perbaikan dari
politik sebelumnya seperti politik liberalisme menuju politik Ethis hingga
politik reaksioner dan seterusnya. Perkembangan politik yang terjadi juga
mempengaruhi keadaan ekonomi serta sosial pada masyarakat, khususnya sosial
yang berkembang sehingga membentuk stratifikasi sosial hingga golongan sosial.
Daftar Pustaka
Utomo Budi, Cahyo.
1995. Dinamika Pergerakkan Kebangsaan
Indonesia dari Kebangitan Hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang
Press.
Kartodirdjo, Sartono.
1990. Pengantar Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakkan Nasional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.